Contohpreposisi dalam bahasa Arab beserta contoh kalimatnya. 1. بِ = dengan. katabtu bilqalami , artinya = Saya menulis dengan pena. 2. تَ = demi (untuk sumpah) tallahi, artinya = demi Allah. 3. كَ = seperti.
Contoh Qira’ah Bahasa Arab Kitab Kitab Silsilah Ta’lim Al Lughah Al Arabiyyah – Hallo sahabat pembaca yang budiman, semoga kita selalu dalam limpaha rahmat dan hidayah dari Allah ta’alaa. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas makalah tentang Contoh Teks Qiro’ah yaitu tentang percakapan bahasa Arab, yang mana kita ambil dari Kitab Silsilah Ta’lim Al Lughah al Arabiyyah dan terjemahannya serta kita jabarkan tentang beberapa kosakata bentuk katanya yaitu kata kerja dan kata benda sesuai dengan yang terkandung didalam teks percakapan tersebut, gunanya agar kita bisa mempelajarinya. Baiklah, langsung saja kita simak uraian materinya dibawah berikut ini ! Percakapan dibawah ini adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang antara Mahmud dengan petugas Bandara dan bagian Imigrasi. Mahmud hendak pergi ke Luar Negeri di kota Riyadh. Berikut isi sari dialog tersebut Percakapan Bahasa Arab Teks PercakapanSubjekNo. لَوْسَمَحْتَ . أَنَا ذَاهِبٌ إِلَى الرِّيَاضِمَحْمُودٌ1Permisi, saya akan pergi ke التَّذْكِرَةُ وَجَوَازُ السَّفَرِ مِنْ فَضْلِكَالمُوَظَّفُ2Mohon tiket dan paspornya!Petugas. تَفَضَّلْمَحْمُودٌ3Silahkan!Mahmudأَيْنَ حَقَائِبُكَ ؟المُوَظَّفُ4Dimana koper-kopermu?Petugas. مَعِيْ حَقِيْبَةٌ وَاحِدَةٌمَحْمُودٌ5Saya membawa satu tas ضَعْهَا عَلَى المِيْزَانِ. الوَزْنُ الزَّائِدُ عَشَرَةُ كِيْلُوَاتٍ. اِدْفَعْ خَمْسِيْنَ دُوْلَارًاالمُوَظَّفُ6Mohon letakkan di timbangan!Ada kelebihan berat 10 bayar $ تَفَضَّلْمَحْمُودٌ7Silahkan!Mahmudوَالآنَ اِمْلأْ بِطَاقَةَ الدُّخُوْالِ. ثُمَّ اتَّجِهْ إِلَى بَهْوِ صَالَةِ المُسَافِرِيْنَالمُوَظَّفُ8Sekarang silahkan isi kartu masuk Anda!Kemudian silahkan menuju ke ruang Percakapan Di Bagian Imigrasi مَحْمُوْدٌ فِي دَاخِلِ بَهْوِ الجَوَازَاتِ Mahmud berada di dalam lobi imigrasi Teks Percakapan SubjekNoهَلْ تَسْمَحُ بِالجَوَازِ وَبِطَاقَةِ المُغَادَرَةِ ؟مُوَظَّفُ الجَوَازَاتِ1Apakah Anda berkenan untukkami lihat paspordan boarding passnya?Petugas Imigrasi. بِكُلِّ سُرُوْرٍمَحْمُودٌ2Dengan senang حَسَنًا . اُدْخُلْ إِلَى بَهْوِ المُغَادَرَةِمُوَظَّفُ الجَوَازَاتِ3Baik, silahkan masuk kelobi Imigrasi. شُكْرًا مَعَ السَّلَامَةِمَحْمُودٌ4Terima kasih dan selamat Mufrodat Mufrodat Kata – Kata Kerja الأَفْعَالُ, yaitu سَمَحَ – يَسْمَحُ Artinya adalah Mengizinkan/Membolehkan.وَضَعَ – يَضَعُ Artinya adalah Meletakkan.دَفَعَ – يَدْفَعُ Artinya adalah Membayar.اِتَّجَهَ – يَتَّجِهُ Artinya adalah Menuju.تَفَضَّلَ – يَتَفَضَّلُ Artinya adalah Berkenan.مَلَأَ – يَمْلَأُ Artinya adalah Mengisi.دَخَلَ – يَدْخُلُ Artinya adalah Masuk. Kata-Kata Benda الأَسْمَاءُ, yaitu ذَاهِبٌ / ذَاهِبَةٌ Artinya adalah Orang pergi.مِنْ فَضْلِكَ Artinya adalah Permisi.تَذْكِرَةٌ جـ تَذَاكِرُ Artinya adalah Tiket.جَوَازُ السَّفَرِ Artinya adalah Paspor.حَقِيْبَةٌ جـ حَقَائِبُ Artinya adalah Tas/Koper.مِيْزَانٌ جـ مَوَازِيْنُ Artinya adalah Timbangan.وَزْنٌ جـ أَوْزَانٌ Artinya adalah Berat.زَائِدٌ / زَائِدَةٌ Artinya adalah Kelebihan.كِيْلُو جـ كِيْلُوَاتٌ Artinya adalah Kilo.خَمْسُوْنَ / خَمْسِيْنَ Artinya adalah Lima puluh.دُوْلَارٌ جـ دُوْلَارَاتٌ Artinya adalah Dolar.بِطَاقَةٌ جـ بِطَاقَاتٌ Artinya adalah Kartu.بَهْوٌ جـ أَبْهَاءُ Artinya adalah Lobi.صَالَةٌ جـ صَالَاتٌ Artinya adalah Ruangan.دَاخِلٌ Artinya adalah Di dalam.جَوَازَاتٌ Artinya adalah Imigrasi.مُغَادَرَةٌ Artinya adalah Keberangkatan.سُرُوْرٌ Artinya adalah Senang.حَسَنًا Artinya adalah Baik/OK.مَعَ السَّلَامَةِ Artinya adalah Selamat jalan. Demikianlah pembahasan makalah tentang Contoh Qiro’ah Bahasa Arab yaitu tentang Percakapan yang dilakukan oleh dua orang antara Mahmud dengan petugas Bandara dan bagian Imigrasi. Mahmud hendak pergi ke Luar Negeri di kota Riyadh. Semoga bermanfaat …. Baca juga Percakapan Bahasa Arab Tentang TiketPercakapan Bahasa Arab Tentang Fasilitas UmumPercakapan Tentang Haji Dan Umroh Dalam Bahasa Arab Downloadkata-kata mutiara berbahasa arab dan artinya cdr yang suka kaligrafi sederhana, tulisan-tulisan dinding sederhana, ini mari download file berbentuk coreldraw sehingga bisa diedit, disini downloadnya disini . Sinonimitas makna sebuah kata dalam bahasa manapun merupakan hal yang lazim terjadi. Menurut pandangan umum, Alquran pun tidak terlepas dari unsur sinonimitas ini, sebab - meski ia wahyu Tuhan yang bersifat transenden - Alquran telah mewujud dalam bentuk teks berbahasa Arab. Namun, benarkah Alquran mengakui adanya sinonimitas? Muhammad Syahrur dengan teori anti-sinonimitasnya meyakini bahwa setiap kata dalam Alquran bersifat unik, sehingga tidak ada dua kosakata atau lebih yang sinonim. Penelitian ini ingin membuktikan gagasan anti-sinonimitas Syahrur tersebut dengan mengambil kasus pada kosakata yang selama ini dianggap sinonim, yaitu kata qiraah dan tilawah. Tujuan penelitian ini adalah memahami hal-hal yang menyebabkan munculnya teori anti sinonimitas Syahrur, dan menemukan perbedaan yang kontras dan signifikan antara kedua kata yang dianggap sinonim tersebut. Karena, Syahrur berteori bahwa menerima sinonimitas sama dengan menolak historisitas bahasa, apalagi pada kasus Alquran yang penuh mukjizat. Metode penelitian ini menggunakan pisau analisis semantik yang kemudian dikorelasikan dengan perspektif teori anti-sinonimitas Syahrur. Penelitian ini pada akhirnya membenarkan teori anti-sinonimitas Syahrur. Setelah dilakukan telaah secara semantik, ternyata kedua kata itu memiliki perbedaan makna yang cukup signifikan. Dalam perspektif Syahrur, qiraah dalam konteks sekarang adalah tindakan menelaah, mengkaji atau melakukan penelitian terhadap suatu hal; sedangkan tilawah adalah seminar ilmiah. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir ISSN 2540-8461 online ISSN 2528-1054 print DOI MAKNA QIRAAH DAN TILAWAH DALAM ALQURAN PERSPEKTIF TEORI ANTI SINONIMITAS MUHAMMAD SYAHRUR Sandi Wahid Rahmat Nugraha1, Irwan Abdurrohman2 1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jl. AH. Nasution No. 105 Bandung, Jawa Barat, Indonesia; Email sandiwahidr 2 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jl. AH. Nasution No. 105 Bandung; Email; irwanabdurrohman * Correspondence Received 2020-07-01 ; Accepted 2020-07-12; Published 2020-07-13 Abstract Commonly, synonymity of the meaning of a word exists in any language. In general opinion, the Quran also contains this synonymity, because - although it is a transcendent revelation of God - the Quran has come into being in the form of Arabic texts. The question is, is it true that the Quran recognizes this synonymity? Muhammad Syahrur, with his anti-synonymity theory, believes that every word in the Quran is unique so that no two or more words are synonymous. This study wants to prove the idea of Syahrur's anti-synonymity by taking the case of words that have been considered synonyms, namely the terms qiraah and tilawah. The purpose of this research is to understand the background of Syahrur's anti-synonymity theory and to find contrasting and significant differences between the two words that are mostly considered synonyms. Syahrur assumes that accepting synonymity is the same as rejecting the historicity of language. Especially so in the case of the Quran as a miraculous book. This research uses semantic analysis, which is then correlated with the perspective of Syahrur's anti-synonymity theory. This research finally confirmed Syahrur's anti-synonymity theory. After conducting a semantic review, it turns out that the two words have quite significant differences in meaning. In the perspective of Syahrur, qiraah in the present context is to analyze, study, or examine a matter, while tilawah is a scientific seminar Keywords qiraah; tilawah; sinonimitas; Syahrur. Abstrak Sinonimitas makna sebuah kata dalam bahasa manapun merupakan hal yang lazim terjadi. Menurut pandangan umum, Alquran pun tidak terlepas dari unsur sinonimitas ini, sebab - meski ia wahyu Tuhan yang bersifat transenden - Alquran telah mewujud dalam bentuk teks berbahasa Arab. Namun, benarkah Alquran mengakui adanya sinonimitas? Muhammad Syahrur dengan teori anti-sinonimitasnya meyakini bahwa setiap kata dalam Alquran bersifat unik, sehingga tidak ada dua kosakata atau lebih yang sinonim. Penelitian ini ingin membuktikan gagasan anti-sinonimitas Syahrur tersebut dengan mengambil kasus pada kosakata yang selama ini dianggap sinonim, yaitu kata qiraah dan tilawah. Tujuan penelitian ini adalah memahami hal-hal yang menyebabkan munculnya teori anti sinonimitas Syahrur, dan menemukan perbedaan yang kontras dan signifikan antara kedua kata yang dianggap sinonim tersebut. Karena, Syahrur berteori bahwa menerima sinonimitas sama dengan menolak historisitas bahasa, apalagi pada kasus Alquran yang penuh mukjizat. Metode penelitian ini menggunakan pisau analisis semantik yang kemudian dikorelasikan dengan perspektif teori anti-sinonimitas Syahrur. Penelitian ini pada akhirnya membenarkan teori anti-sinonimitas Syahrur. Setelah dilakukan telaah secara semantik, ternyata kedua kata itu memiliki perbedaan makna yang cukup signifikan. Dalam perspektif Syahrur, qiraah dalam konteks sekarang adalah tindakan menelaah, mengkaji atau melakukan penelitian terhadap suatu hal; sedangkan tilawah adalah seminar ilmiah. Kata Kunci qiraah; tilawah; sinonimitas; Syahrur. Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 43 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur 1. Pendahuluan Tidak dapat disangsikan, Alquran diturunkan oleh Allah swt. sebagai petunjuk dan untuk mengarakan manusia ke jalan yang paling lurus. Maka dari itu, perlu dilakukan penemuan makna-makna dari firman Allah tersebut. Urgensi Alquran sebagai manual book umat Muslim untuk mencapai cita-cita Alquran yang difirmankan oleh Allah Swt. tersebut tidak bisa ditawar lagi. Sehingga, jalan yang ditempuhnya pun yaitu penemuan makna-makna dalam Alquran-juga merupakan hal yang mendesak adanya. Karena mendesaknya dalam penyingkapan dan penemuan makna-makna sebagai pemosisian Alquran sebagai manual book umat muslim tersebut, Arkoun mengatakan bahwa Alquran merupakan teks yang terbuka atas segala makna dan teks bagi seluruh umat manusiaHarb 2003. Salah satu pendekatan dalam upaya penggalian dan pengungkapan makna dalam Alquran adalah pendekatan semantik Khan et all., 2019., hal. 570. Pendekatan ini adalah sebuah pendekatan studi Alquran yang menjadikan lafal Alquran sebagai objek Khan et all., 570, terutama pada kata-kata kunci key word yang terdapat dalam redaksi ayat. Key word ini memiliki peranan penting untuk menangkap makna yang terdapat dalam redaksi ayatSaepudin et., all 2016., Bagaimana Tuhan mendistribusikan kata-katanya dalam redaksi ayat, menjadi hal yang menari dalam kajian semantikIsmail 2016b, 139–40. Terkait dengan pendekatan bahasa dalam Alquran, menarik apa yang diungkapkan Izutsu, ‚Allah mewahyukan melalui bahasa, dan bukan dalam bahasa yang misterius melainkan bahasa manusia yang jelas dan dapat dimengerti‛Izutsu 2003. Itulah sebabnya manusia dapat mempelajari Alquran dari berbagai aspek, termasuk bahasa atau linguistiknya. Menyinggung tentang diskursus kebahasaan, salah satu tema yang menjadi perdebatan sehingga terjadi dikotomi di dalamnya adalah mengenai sinonimitas dalam Alquran. Sinonim ialah ragam lafaz, namun mempunyai satu makna yang sama Shihab 2015a. Seperti kata khāfa-yakhāfu dengan khasyiya-yakhsya yang sama-sama diartikan takutYunus 1972, 122. Atau dalam bahasa Indonesia, cerdas-cerdik, mayat-bangkai-jenazah, matahari-surya dan lain-lain. Menurut Quraish Shihab, keunikan bahasa Arab terlihat juga pada kekayaannya, bukan saja pada kelamin kata, atau pada bilangannya, yaitu tunggal mufrad, dual musannā, dan plural jama’, tetapi juga pada kekayaan kosakata dan sinonimnyaShihab 2015b, 30. Setidaknya ada dua pandangan ulama yang berpendapat ada tidaknya sinonimitas dalam Alquran. Pertama, kelompok ulama yang menolak sinonimitas dalam Alquran, alias berteori bahwa bahasa Alquran itu anti sinonimitas. Mereka berhujah bahwa setiap kalimat dalam bahasa Arab Alquran memiliki makna yang spesifik, yang membedakan antara satu kalimat dengan lainnya. Kedua, ulama yang sependapat dengan adanya sinonimitas dalam Alquran. Mereka berpendapat bahwa sinonimitas boleh terjadi dalam bahasa, seperti dua istilah yang memiliki kesamaan arti atau sebagai sifat dari kalimat tersebutRiyanto 2014, 147–48. Menarik untuk menanggapi dikotomi pendapat yang terjadi mengenai sinonimitas tersebut melalui ungkapan Khalid bin Usman as-Sabt. Beliau menguraikan bahwa sinonim al-tarāduf adalah ragam lafaz yang mempunyai makna yang sama. Memang tidak terdapat perbedaan dengan definisi sinonim yang telah penulis paparkan sebelum ini, tapi beliau menambahkan yang dimaksud makna yang dianggap sama adalah makna asli atau makna umum atau makna tampak, bukan makna lafaz yang sempurna. Karena setiap lafaz pasti mempunyai makna khususAl-Sabt 459; Rofiq Nurhadi 2017. Oleh sebab itu, sebagian kalangan mengakui keberadaan sinonim dan sebagian yang lain mengingkarinyaAl-Sabt 1421. Golongan yang mengingkari sinonimitas mengakui bahwa sinonimitas dalam bahasa merupakan hal yang lumrah adanya karena merupakan bagian dari fenomena bahasa. Dalam ranah mu’jam misalnya, pinjam-meminjam kata merupakan hal perlu untuk memperjelas maksud yang dituju. Golongan yang mengonfirmasi adanya sinonimitas pun tidak bisa membantah penggunaan kata sya>ri’ dalam hal penamaan jalan dan bukan tharīq. juga terjadi ketidakcocokan apabila menggantinya dengan thariāq. Sehingga pada dasarnya golongan yang Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 44 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur anti terhadap sinonimitas, pada saat yang bersamaan juga mengamini sinonimitas. Begitu pun golongan yang mengamini sinonimitas, pada saat yang sama juga mengingkari sinonimitas. Maka perbedaan pendapat mengenai sinonimitas adalah tentang perbedaan titik pijak melihat. Penganut sinonimitas melihatnya secara fungsional dalam berbahasa. Sedangkan pengingkar sinonimitas tidak bisa mengabaikan makna khusus dari dua kata yang dianggap sinonim. Kekhawatiran pengingkar sinonimitas adalah terjadinya perlakuan pukul rata semua kata yang dianggap sinonim dengan makna yang seragam. Sehingga secara tidak sadar telah mereduksi makna dan menutup diri dari eksplorasi makna khusus yang terkandung di dalamnya. Apalagi kalau hal tersebut diaplikasikan dalam pemaknaan Alquran, tentu ini akan kontradiktif dengan ayat rabbanā mā khalaqta hādzā bāthilā. Maka tidak mungkin Allah menempatkan makna yang sama di dalam lafaz yang berbeda karena itu merupakan ketidakbermanfaatan. Kosakata dalam Alquran yang dianggap sinonim, salah satunya kata qiraah dan tilawah di mana keduanya bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diartikan membaca. Masing-masing ayat yang mengandung kata qiraah dan tilawah misalnya, Al-Nah}l[16]98  Maka apabila engkau Muhammad hendak membaca Al-Qur'an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dan al-Naml[27]92  Dan agar aku membacakan Al-Qur'an kepada manusia. Maka barangsiapa mendapat petunjuk maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk untuk kebaikan dirinya, dan barangsiapa sesat, maka katakanlah, "Sesungguhnya aku ini tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan." Apakah Allah membedakan ragam lafadz dengan arti harfiah membaca di atas dengan tanpa alasan? Maka dari itu, pemaknaan kata qiraah dan tilawah yang hanya terbatas pada arti baca-membaca kurang memuaskan karena terandaikan wilayah makna khusus yang belum tereksplorasi. Pemaknaan yang seperti itu tidak mendapatkan konsep yang utuh dan komprehensif dalam dunia akademis. Bagaimana dengan Syahrur? Apabila mengacu pada dikotomi mengenai sinonimitas dalam Alquran, maka Syahrur tergolong pada sisi yang tidak setuju dengan adanya sinonimitas dalam Alquran, dengan kata lain berpandangan anti sinonimitas. Ini terlihat dari redefinisi yang dilakukan oleh beliau terhadap kata dalam Alquran yang dianggap sinonim seperti al-kitāb, al-qur’ān, al-furqān dan sebagainya. Syahrur mengingkari teori sinonimitas dalam Alquran dengan alasan menerima sinonimitas sama dengan menolak historisitas perkembangan bahasa. Padahal faktanya bahasa itu mengalami perkembangan diakronis Al-Sabt 1421. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa pengingkaran terhadap sinonimitas bukanlah sesuatu hal yang baru, namun aplikasi dari pengingkaran sinonimitas yang dilakukan oleh Syahrur tersebut bisa dikatakan unik. Implikasi dari hal tersebut, beliau sampai pada tahap mengkritisi dan melakukan redefinisi terhadap kata-kata dalam Alquran yang dianggap sinonim sehingga melahirkan eksplorasi makna yang baru dan segar. Metode penelitian ini menggunakan menggunakan metode analisis semantik sebagai pisau analisis demi terjaminnya ketajaman hasil eksplorasi makna kedua kata tersebut sehingga dapat muncul perbedaan yang kontras dan signifikan. Kemudian mengkorelasikannya dengan pendekatan anti-sinonimitas Muhammad Syahrur. Tujuan penelitian ini adalah memahami hal-hal yang menyebabkan munculnya teori anti sinonimitas Syahrur, dan menemukan perbedaan yang kontras dan signifikan antara kedua kata yang dianggap sinonim tersebut. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pemaparan latar belakang pemikiran Syahrur mengenai gagasan anti sinonimitas, kemudian mengambil sampel dua kosakata dalam Alquran yang dianggap sinonim yakni kata qirāah Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 45 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur dan tilāwah untuk dianalisis menggunakan metode semantik. Kemudian hasilnya dikorelasikan dengan perspektif Syahrur. 2. Muhammad Syahrur dan Teori Anti Sinonimitas Riwayat Hidup Muhammad Syahrur adalah seorang insinyur yang dilahirkan di Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938. Dia mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Pendidikan menengahnya dirampungkan pada tahun 1957, dan segera setelah menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrur melanjutkan studinya ke Moskow, Uni Soviet sekarang Rusia untuk mempelajari teknik sipil handasah madaniyah atas beasiswa pemerintah setempatYusuf, 2014, 55. Di negara inilah, Syahrur mulai berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran Marxisme, sungguh pun ia tidak mendakwa sebagai penganut aliran tersebut. Gelar diploma dalam bidang tekni k sipil tersebut, ia raih pada tahun 1964. Setelah meraih gelar diploma, pada tahun 1964, Syahrur kembali ke Syria untuk mengabdikan dirinya sebagai dosen pada Fakultas Teknik di Universitas Damaskus. Pada tahun itu pula, Syahrur kembali melanjutkan studi ke Irlandia, tepatnya di University College, Dublin dalam bidang yang sama. Pada tahun 1967, Syahrur berhak untuk melanjutkan penelitian pada Imperial College, London. Pada bulan Juni tahun itu, terjadilah perang antara Inggris dan Syria yang mengakibatkan renggangnya hubungan diplomatik antara dua negara tersebut, namun hal tersebut tidak menghambatnya untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia segera berangkat kembali ke Dublin untuk menyelesaikan program master dan doktoralnya di bidang mekanika pertanahan soil mechanics dan teknik bangunan foundation engineering. Gelar doktornya diperoleh pada tahun 1972. Selanjutnya Syahrur secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus hingga sekarangHidayat, 2017, 207. Di samping posisinya sebagai dosen, sebenarnya Syahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun 1982-1983, ia dikirim pihak universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di Fakultas, Syahrur membuka Biro Konsultasi Teknik di DamaskusSyahrur, 2015, 5. Syahrur yang dikenal sekarang ini tidak bisa lepas dari sejarah masa kecilnya yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berpikir kritis dalam beragama. Sikap keberagamaan ayah Syahrur bisa dibilang unik. Walaupun secara penampilan berwajah agamis, namun ia memiliki pola pikir modern dan pola pikir keagamaan yang sadar akan realitas kehidupan yang dihadapi. Pola pikir ayahnya ini banyak membentuk Syahrur, baik dalam karakter akademis maupun sosial. Sebagaimana diakui oleh Syahrur, suatu hari ayahnya mengajarkan bahwa beribadah pada Tuhan sama pentingnya dengan kejujuran, kerja dan mengikuti hukum alam. Selain itu, Syahrur juga selalu ingat dengan ilustrasi yang diberikan oleh ayahnya mengenai agama, ‚Jika kamu ingin menghangatkan tubuh, jangan membaca Alquran, tapi nyalakan api di tungku‛Malik, 2017, 120. Dari segi pendidikan formal, Syahrur memang tidak concern terhadap kajian keislaman islamic studies. Ia lebih concern dalam bidang teknik, hingga meraih jenjang doktor di bidang yang sama, Mekanika Pertanahan dan FondasiMubarok, 2007, 139. Sejarah intelektual Syahrur memang secara formal beralurkan sains. Karena itu, beberapa kritikus melemparkan argumen, seharusnya Syahrur lebih tepat dipandang sebagai ahli ilmu eksak dibandingkan sebagai pemikir atau cendekiawan Muslim. Meski disiplin utama keilmuannya pada bidang teknik, namun itu tidak menghalanginya untuk mendalami disiplin ilmu yang lain semisal filsafat, yang selanjutnya menjadi perspektif Syahrur dalam kajian keislaman terutama tafsir. Ini terjadi, terutama setelah pertemuannya dengan Ja’far Dek al-Bab, rekan satu almamater di Syria dan teman seprofesi di Universitas Damaskus. Kontaknya itu, telah memberi arti yang cukup berarti dalam pemikirannya, yang kemudian tertuang dalam karya monumentalnya, yaitu al-Kita>b wa Al-Qur’a>n Qira>ah Mu’a>s}irahSyahrur, Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 46 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur Gagasan Anti Sinonimitas Syahrur Kajian Syahrur terhadap Alquran dalam bukunya al-Kita>b membuat banyak kalangan terusik akibat pendapatnya yang anti mainstream. Dalam bukunya tersebut, Syahrur telah sampai pada kesimpulan yang sama sekali baru dan berbeda dari mainstream pemahaman saat iniSyahrur, Tentu hal ini menimbulkan tanda tanya, bagaimana beliau bisa sampai pada kesimpulan tersebut? Sebagaimana dipaparkan oleh Ja’far Dek al-Bab dalam pengantar buku al-Kita>b, Syahrur percaya bahwa Alquran adalah mukjizat abadi bagi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi dan rasulSyahrur, Maka dari itu beliau meyakini tanpa ragu bahwa Al-Qur’a>n s}a>lih} likulli zama>n wa maka>n. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Alquran merupakan kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan, sastrawi al-i’ja>z al-bala>ghi dan ilmiah al-i’ja>z al-ilmi. Untuk memahami aspek sastrawi Alquran perlu digunakan pendekatan deskriptif-fungsional al-manhaj al-was}fi al-waz}i>fi, sedangkan aspek ilmiahnya harus dipahami dengan pendekatan historis-ilmiah al-manha>j al-ta>rikhi al-ilmi, yang keduanya diletakkan dalam bingkai studi linguistik. Pendekatan pertama dilakukan dengan cara memadukan analisis sastra balagah dengan analisis gramatika nahwu. Selama ini, kedua disiplin linguistik tersebut lebih sering dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua, menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonimSyahrur, Pertanyaan berikutnya adalah metode apa yang dipakai oleh beliau dalam melakukan kajiannya tersebut? Awalnya metode historis-linguistik diperkenalkan oleh Ja’far Dek al-Bab lewat penelitiannya, yaitu al-Khas}a>is al-Binwiyah li al-Arabiyah fi D{au’i al-Dira>sa>t al-Lisa>niyah al-H{adi>s}ah yang mana beliau ciptakan asasnya berdasarkan perspektif Abu Ali al-Farisi yang berasal dari dua teori yang saling melengkapi, yaitu teorinya Ibnu Jinni dan al-JurjaniSyahrur, Ibnu Jinni dalam penelitiannya al-Khas}a>is} menemukan bahwa terdapat hubungan logis antara suara dengan makna yang dihasilkan. Ia menjelaskan bahwa bahasa manusia pada mulanya merupakan suara-suara yang diucapkan manusia secara sadar sebagai media menyampaikan maksud tertentu baik ide maupun gagasan kepada orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau sampai pada kesimpulan, bahasa tidak tercipta pada waktu yang sama tapi pada waktu yang berlainandan bahasa terus menerus terjaga dalam bentuknya yang konsistenSyahrur, Sedangkan al-Jurjani dalam Dala>il al-I’jaz fi Ilmi al-Ma’a>ni,membahas hubungan antara bahasa dengan pikiran. Ia memaparkan, sebelum melakukan pengungkapan bahasa, manusia lebih dulu membayangkannya dalam pikiran mengenai maksud atau konsep yang ingin disampaikannya. Sehingga, beliau menyimpulkan, suatu kata tidak mungkin mengandung makna yang ada pada kata lain.Syahrur, Kedua teori di atas saling melengkapi satu sama lain. Selanjutnya ini mengerucut di dalam teorinya Abu Ali al-Farisi, yaitu berasumsi bahwa; 1 Bahasa adalah sebuah sistem, 2 Bahasa adalah hasil kesepakatan dan hubungan struktur & fungsi bahasa yang berkaitan dengan praktik bahasa, 3 Keterkaitan bahasa dengan pikiran. Konsekuensi diamininya asumsi-asumsi di atas adalah bahasa tidak mengenal sinonimitas. Begitu juga Alquran yang telah hadir dalam tekstual bahasa, maka dalil tersebut perlu diterapkan. Dan itulah yang dilakukan oleh Syahrur. Beliau menjadikan hal tersebut sebagai landasan teori dalam rangka penafsiran ulang terhadap tema-tema yang terdapat dalam Alquran sesuai dengan konteks ruang dan waktu abad kedua puluh. Dalam bukunya, titik tolak penelitiannya adalah terma-terma yang selama ini dipahami dan diyakini sebagai sinonim, yaitu al-kita>b, al-qur’a>n, al-furqa>n dan seterusnya. Di sini beliau melakukan dekonstruksi dan redefinisi terhadap terma-terma tersebut yang pada akhirnya beliau melahirkan konsep baru, di mana konsep ini nantinya akan menjadi kunci bagi para intelektual untuk meneliti dan memahami pemikirannya. Terlihat bahwa metode historis-ilmiah yang digunakan dalam penelitiannya bukanlah karya orisinil miliknya. Peran Syahrur ‚hanya‛ mengadopsi metode yang diperkenalkan Ja’far Dek al-Bab kepadanya. Meskipun tentu saja terdapat faktor tertentu yang membuat akhirnya Syahrur sepakat Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 47 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur dengan metode tersebut. Yaitu latar pendidikan dalam bidang sains yang dimiliki Syahrur ternyata memiliki pengaruh kuat, yang membuatnya senantiasa mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional dan ilmiah. Yang menjadi ciri khas dari Syahrur adalah pengaplikasian asumsi tersebut yaitu anti sinonimitas terhadap kajian Alquran dengan mengungkap detilitas makna dan titik berangkatnya yang merupakan seorang expert keilmuan sains yang berkarakter ilmiah kontemporer sehingga melahirkan argumentasi baru terkait konsep dalam diskursus Alquran. Pada akhirnya hal tersebut menjadi hal yang paling tipikal dari Syahrur. Fakta adanya perdebatan ulama linguistik tentang eksistensi sinonim, nampaknya tidak membuatnya bergeming. Syahrur tetap bersikukuh dengan penolakannya terhadap sinonimitas dan terus mengembangkan teorinya dalam melakukan pembacaan kontemporer terhadap Alquran. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku yang dikarangnya belakangan. Terkait hal ini ia mengatakan, ‚Jika kita memandang sebuah buku tentangkedokteran atau teknik yang ditulis dalam bahasa apapun, maka kita tidak akan menemukan fenomena sinominitas di dalamnya. Jika sebuah sel berbeda dari sel lain, maka penulis buku akan memberikan nama lain terhadap sel tersebut, meskipun perbedaannya sangat kecil. Demikian juga ketika sebuah batasan yang belum diketahui dalam matematika berbeda dengan batasan lain,maka penyusun buku itu akan memberikan simbolsimbolyang berbeda S1, S2, S3,…. Demikian juga dalam rangka ketelitian ilmiah. Mengapa hal ini tidak adanya sinominitas dalam bidang ilmu pengetahuan demi ketelitian ilmiah yang notabene berasal dari manusia, kita terima dan kita akui dengan ketelitian ilmiah, sementara di sisi lain kita bersikeras mengatakan bahwa simbol-simbolterminologi-terminologi dalam Kitabullah adalah sama sinonim. Bagaimana mungkin makhlukTuhan dalam hal pengungkapan bisa lebih teliti dari pada Tuhannya dalam hal pewahyuan?‛Syahrur, 1994, 37. Perspektif empiris, rasional dan ilmiah yang digunakan dalam memberikan argumentasi mengenai sinonimitas tersebut merupakan konsekuensi logis dari dialektika beliau dengan keilmuan sains modern yang memang merupakan ekspertasi seorang Syahrur. Semantik Alquran Pendekatan bahasa adalah sebuah pendekatan studi Alquran yang menjadikan lafal-lafal Alquran sebagai obyek. Pendekatan inimenekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami Alquran. Secara praktis, pendekatan ini dilakukan dengan memberikan perhatian padaketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat AlquranZenrif, 2008, 51. Dalam kasus semantik Al-Qu’an, maka yang terjadi adalah menjadikan tanda-tanda dan lambang-lambang bahasa dalam Alquran sebagai objek kajian ilmu semantik, untuk kepentingan meraih makna dibaliknya. Dalam pengamatan Izutsu, setiap kata sudah tentu memiliki makna dasardan makna relasional. Makna dasar dapat disinonimkan dengan makna leksikal, sementara makna relasional hampir mendekati makna kontekstualZulfikar 2018, 112. Ketika suatu kata digunakan dalam kalimat atau konsep tertentu, maka ia memilikimakna baru yang diperolehZulfikar 2018, 112, dari posisi dan hubungannya dengan kata-kata laindalam struktur kalimat tersebut. 3. Analisis Kata Qiraah dan Tilawah dalam Alquran menurut Syahrur Sebaran Kata Qiraah dan Tilawah dalam Alquran Kata qiraah dalam Alquran terdapat 14 derivasi dan jumlah total penyebutannya sebanyak 89 kali. Karena kepentingan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna membaca pada kata qiraah, maka tiga derivasi dari kata qiraah yaitu al-Qur’a>n,qur’a>nan, dan quru>’in tidak masuk dalam wilayah penelitian karena berbeda tema bahasanBaqi, 685-686. Sedangkan kata tilawah dalam Alquran terdapat 20 derivasi dan jumlah total penyebutannya sebanyak 61 kali. Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 48 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur Analisis Diakronik Term Qiraah dan Tilawah Analisis diakronik adalah sebuah analisa untuk mengetahui pandangan sebuah masyarakat terhadap suatu bahasa 1997, 23. Pada prinsipnya analisis diakronik menitikberatkan pada unsur waktu. Maka dengan analisis diakronik dapat diketahui pertumbuhan dan perubahan setiap kata pada jenjang waktu tertentuIzutsu, 2003, 23. Untuk kepentingan tersebut maka kosakata perlu dilihat dalam tiga fase a. Masa sebelum turunnya Alquran Pre-Qur’anic meaning, b. Masa proses penurunan Alquran Qur’anic age meaning, c. Masa pasca Alquran Post Qur’anic meaning. Kecenderungan makna kata qiraah pada masa sebelum Alquran turun digunakan dalam konteks keterhimpunan atau keberkumpulan bendawi yang umum. Misalnya dalam mengungkapkan belum adanya janin di dalam rahim. Pada masa Alquran turun terjadi upaya transendentalisasiIsmail, 2016, 142, pe-naik kelas-an kata qiraah. Maknanya menjadi ungkapan yang berkaitan dengan aspek kognitif manusia. Makna yang muncul pada masa ini yaitu pelafalan melakukan penghimpunan rangkaian kata sehingga dapat diindra, penyampaian, proses kognisi, menganalisa, mempelajari, menginsafi, melakukan refleksi, menelaah, pengujaran, membaca hafalan dan membuat ingat. Dari makna-makna tersebut tidak ada satu pun yang merujuk pada wujud bendawi kecuali kata Alquran yang artinya himpunan, karena terdiri dari himpunan surah-surah. Pada masa setelah Alquran, kosakata baru muncul seiring perkembangan zaman yang berasal dari bentukan kata ini. Yaitu Taqarra’a artinya mempelajari fiqih, al-miqra’ artinya tempat meletakkan kitab, istaqra’a artinya meneliti, al-istiqra>’ artinya penelitian, al-t}ari>qatu al-istiqra’iyyah artinya metode deduktif, iqtara dengan huruf ya lazimah di akhri artinya menyelidiki. Meskipun dalam hal keberagaman kosakata menunjukkan perluasan, semua kosakata tersebut masih sama-sama berkaitan dengan aspek kognitif manusia dan tetap spirit makna yang dikehendaki Alquran. Sedangkan kata tilawah, Kecenderungan makna kata tilawah pada masa sebelum Alquran turun digunakan dalam konteks pengiringan atau tindakan mengikuti baik badani atau meneladani bendawi atau kemakhlukan. Misalnya terdapat dalam ungkapan al-Muta>li artinya penyanyi latar dengan suara tinggi, atau ja>’at al-khailu tata>liyan artinya kuda-kuda itu datang beriringan, atau qad ja’alat dalwa tastatliyani>, wa la>uri>du tabi’a al-qari>n artinya ia menjadikan bintang dalwa mengikutiku, tapi aku tidak ingin mengikuti kekasihku. Pada masa Alquran turun terjadi upaya transendentalisasi pe-naikkelas-an Ismail, kata tilawah. Maknanya menjadi ungkapan penerangan, penjelasan dan pengajaran yang mendorong untuk diadopsi menjadi nilai pegangan hidup. Penerangan, penjelasan dan pengajaran dari tilawah sifatnya implikatif dalam kehidupan audiens. Yaitu berupa nilai-nilai maupun prinsip yang hendaknya diimplementasikan dalam tataran praktis dan dijadikan pedoman dalam berkehidupan. Makna yang muncul pada masa ini yaitu menjelaskan dengan rinci dan sesuai dengan realitas, bukan bersifat fantasi, agar dijadikan prinsip hidup; menceritakan kisah kabar atau berita dengan jelas, agar menjadi suri tauladan dalam hidup; menerangkan dengan rinci ketetapan hukum, agar dijadikan nilai moral dalam hidup; menguraikan dengan jelas agar audiens tercerahkan; menerangkan dengan tulus sehingga merasuk ke dalam hati dan membuat audiens tersentuh; mengungkapkan secara logis dan sesuai dengan realitas agar dapat dipercaya; menyampaikan dengan logis; memperdengarkan yang menyentuh hati dan akal; menyampaikan penjelasan dengan kokoh secara argumentatif agar tidak ada celah untuk dibantah; menerangkan dengan jelas agar menjadi peringatan dan pelajaran; mempelajari dan mengamalkan; mengajarkan secara logis dan sesuai realitas. Dari makna-makna tersebut tidak ada satu pun yang merujuk pada pengiringan atau tindakan mengikuti baik badani atau meneladani bendawi atau kemakhlukan. Pada masa setelah Alquran, terdapat suatu perlombaan Alquran yaitu MTQ. Tapi spirit maknanya telah mengalami pergeseran. Meskipun dalam tilawah pun melibatkan tindakan membaca dan salah satu maknanya adalah membaca, tetapi apabila dibandingkan dengan makna yang sebenarnya dikehendaki oleh Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa makna tilawah pada saat ini mengalami penyempitan makna. Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 49 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur Singgungan Makna Qiraah dan Tilawah dilihat dari Medan Semantik keduanya Dari medan semantik gabungan yang diperoleh dari analisis sintagmatik dan paradigmatik, kata , , ,  dan  menjadi irisan makna dari kata qiraah dan tilawah. Hubungannya dengan kata , proses dari keduanya sama-sama bisa mengantarkan pada kebenaran yang bukan bersifat fantasi. Hubungannya dengan , proses dari keduanya sama-sama bisa mengantarkan pada sikap merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta. Hubungannya dengan , dalam prosesnya keduanya sama-sama diantarkan melalui pendengaran. Hubungannya dengan , proses keduanya sama-sama bisa mengantarkan menuju iman. Hubungannya dengan , keduanya sama-sama mengandung wujud yang dapat diikuti. Posisi antara qiraah dan tilawah, dalam tilawah pasti melibatkan qiraah karena subjek tilawah dan audiens tilawah sudah tentu melakukan proses kognisi. Tetapi kepentingan tilawah dan baru disebut tilawah, apabila hasil qiraah dari subjek dan audiens tilawah, menjadikannya sebagai pedoman dan prinsip dalam hidup. Karena secara struktur kalimat, objek tilawah mempunyai kapasitas yang mencukupi untuk kepentingan tersebut. Bukan berarti dalam qiraah tidak mampu melahirkan nilai-nilai yang bisa dijadikan pedoman dan prinsip hidup. Tentu saja bisa dan idealnya memang begitu. Tapi hal yang ditekankan dan menjadi standar kepentingan qiraah hanyalah pelaksanaan proses kognisinya. Sehingga dapat disimpulkan tilawah sudah pasti qiraah. Tetapi qiraah belum tentu tilawah. Bentuk sinonim seperti ini dinamakan sinonim selaras. Sinonim selaras adalah beberapa kata atau ungkapan yang memiliki komponen makna yang sama, tetapi satu di antaranya memiliki komponen makna yang agak luas. Arifin, 2015, 7 Meskipun kata qiraah dan tilawah berdasarkan analisis sintagmatik-paradigmatiknya bersinonim, berdasarkan analisis-sintagmatiknya pula kedua kata tersebut menunjukkan perbedaannya, yang bahkan lebih beragam dari irisannya. Medan semantik kata qiraah yang tidak beririsan adalah , , , , , , , , , , , ,  dan . Dan medan semantik kata tilawah yang tidak beririsan adalah , , , , , , , , , , , , , , , , , ,  dan . Sehingga pada dasarnya Alquran itu anti sinonimitas, karena dalam pandangan Syahrur, penerimaan terhadap sinonimitas hanya akan mereduksi kandungan makna masing-masing katanya yang kaya akibat kemukjizatan Alquran, terutama dari aspek linguistiknya. Analisis Makna Qiraah dan Tilawah Perspektif Anti Sinonimitas Syahrur Agar maksud penulis bisa sampai, akan didemonstrasikan bagaimana Syahrur, berawal dari ingkar terhadap sinonimitas, melakukan eksplorasi makna dan menghasilkan konsep baru melalui kosakata yang dianggap sinonim sebagai berikutSyahrur 2018. Banyak orang bertanya, apakah perbedaan antara al-kita>b dan al-qur’a>n. Surah Al-Fa>tih}ah mendapat sebutan fa>tih}atul kita>b dan bukan fa>tih}atul qur’a>n. Dalam surah Al-Baqarah[2]2, 53   2 53 Dalam ayat di atas, al-kita>b adalah hudan lilmuttaqi>n dan al-qur’a>n adalah hudan linna>s. Muttaqi>n pasti merupakan manusia tapi manusia belum tentu muttaqi>n. Oleh sebab itu, Allah berfirman al-qur’a>n adalah hudan linna>s dan al-kita>b adalah hudan lilmuttaqi>n. Maka al-kita>b wajib mengandung qur’a>n, karena muttaqi>n termasuk ke dalam golongan manusia tapi tidak semua manusia termasuk golongan muttaqi>n. Jadi di dalam al-kita>b terkandung juga hal lain yang melengkapi sebagai tambahannya, yaitu al-qur’a>n. Orang-orang yang mengikuti al-kita>b konsekuensinya menjadi muttaqi>n. Itulah kenapa Allah memberi kita detil dari al-kita>b yang diperuntukkan untuk manusia sekaligus muttaqi>n yaitu, Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 50 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur  3 Maksudnya, yu’minu>na bil ghaibi kandungan yang diperuntukkan bagi manusia adalah al-qur’a>n dan sisanya yaitu wa yuqi>mu>na al-s}ala>ta wa mimma> razaqna>hum yunfiqu>n kandungan yang diperuntukkan bagi muttaqi>n adalah bagian dari al-kita>b bukan al-qur’a>n. Al-qur’a>n membahas sesuatu yang lain, yaitu tentang hal-hal gaib tidak diketahui/tidak disadari dan perkara gaib merupakan bagian dari nubuwwah. Inilah kenapa Muhammad saw. dinamakan Nabi dan bukan Rasul. Allah berfirman al-qur’a>n yang merangkan perkara gaib, surah An ayat 185  Apakah seseorang menyadarinya atau tidak, menerimanya atau tidak, mati akan menghampiri setiap orang. Jadi dalam al-qur’a>n tercantum hudan linna>s, karena kandungannya perlu diketahui seluruh manusia. Oleh karena itu, al-qur’a>n adalah kumpulan perkara gaib yang tidak terlihat dan tidak diketahui disadari, yang terbagi menjadi dua tipe yang berbeda. Yang pertama hukum alam yang tidak terlihat ghaibiyya>t al-tha>bi’ah, yang kedua sejarah yang tidak terlihat ghaibiyya>t al-ta>rikh. Hukum alam yang tidak terlihat termasuk di dalamnya penciptaan langit dan bumi, hari kebangkitan, surga, neraka dan penciptaan manusia, semuanya terkandung di dalam al-qur’a>n. Oleh karena itu, semua pemberitaan tersebut diperuntukkan bagi semua manusia baik dipercaya atau tidak. Kemudian hal yang kedua, yaitu perkara sejarah peristiwa yang tidak terlihat tapi telah diarsipkan terjadi. Al-qur’a>n mengandung peristiwa hukum alam yang mana menyangkut percaya atau tidak percaya bukan menyangkut patuh-tidak patuh taat-tidak taat, di dalamnya juga mengandung peristiwa sejarah dan keduanya menjadi satu yang diberi nama al-hadi>s\ pemberitaan. Jadi kandungan al-qur’a>n menyangkut percaya atau tidak percaya menerima atau mendustakan, bukan tentang patuh-tidak patuh, taat-tidak taat. Sehingga, Kandungan al-qur’a>n urusannya terbagi antara kebenaran haq dan kesalahan batil, di dalam hukum alam dan sejarah. Sedangkan risalah urusannya terbagi antara yang diperbolehkan halal dan yang dilarang haram di dalam tingkah laku sewajarnya manusia. Jadi yang satu terfokus pada peristiwa hukum alam yang meliputi, baik disadari atau tidak dan yang lain terfokus pada hal yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dalam melakukan demonstrasi eksplorasi makna sehingga menghasilkan konsep baru yang berawal dari ingkar terhadap sinonimitas, Syahrur meminjam konsep-konsep metodologis strukturalisme linguistik yang digagas oleh Ferdinand de Saussure, yang juga dipakai Izutsu dalam metode analisis semantik. Hal ini terlihat dari asumsi-asumsi yang beliau adopsi dimana telah penulis paparkan di poin gagasan anti sinonimitas Syahrur yang menjadi titik berangkat untuk sampai pada kesimpulan anti sinonimitas, sangat bersinggungan dengan prinsip linguistiknya Ferdinand de Saussure yang nantinya menjadi prinsip suatu aliran bahasa yang dinamakan strukturalisme linguistik. Juga pembangunan hipotesis demi hipotesis mengenai al-kita>b, al-qur’a>n dan al-furqa>n yang beliau lakukan, yang melibatkan proses sintagmatik-paradigmatik dan pengelompokan ayat. Perbedaan kontrasnya dengan semantik Izutsu adalah Syahrur tidak melibatkan analisis diakronik suatu term. Sehingga, tidak mengantarkannya kepada pandangan dunia term tersebut yang dalam istilah Izutsu disebut weltanschauung. Hal ini dapat dimaklumi mengingat beliau di banyak kesempatan menjelaskan bahwa Alquran seharusnya dibaca dan dipahami bukan melalui produk pemikiran abad klasik, melainkan seolah-olah ‚Rasulullah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang Kitab tersebut‛Syahrur, Dari pernyataan tersebut, titik tekan Syahrur ada pada upaya kontekstualisasi teks. Maka dari itu, beliau mengerjakan proyek ambisius berupa melakukan pembacaan ulang dengan perangkat ilmu-ilmu abad ke-20. Sehingga standar kebasahan suatu tafsir atau pemahaman bagi Syharur adalah konstekstualisasinya dengan kekinian. Meskipun dapat dikatakan pernyataan tersebut tidak konsisten karena beliau menggunakan Mu’jam Maqa>yisal-lughah-nya Ibnu Faris sebagai pegangan referensi penting oleh beliau dalam menetapkan perbedaan makna lafaz yang dibahasSyahrur, Memang Ibnu Faris Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 51 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur pun menyangkal sinonimitas dalam bahasa sehingga Syahrur merasa satu pendapat dengannya, tetapi Ibnu Faris melibatkan syair-syair jahiliyah sebagai bagian dari proses melacak perbedaan makna tersebut. Dan dalam beberapa kasus, Syahrur kerap menggunakan hadis Nabi dalam melakukan pengungkapan makna. Dari hasil analisis semantik di atas, kata qiraah dan tilawah memang merupakan sinonim. Meskipun begitu pada dasarnya Alquran itu anti sinonimitas, karena masing-masing kata menunjukkan perbedaan yang signifikan dilihat dari jaringan makna yang dikandungnya. Setelah dilakukan penelitian, penulis sampai pada kesimpulan bahwa teori Syahrur mengenai anti sinonimitas adalah benar. Terbukti dari penelitian yang penulis lakukan, kata qiraah dan tilawah memiliki makna yang berbeda. Kata qiraah titik tekannya, Alquran memberitahukan, tindakan menghimpun atau mengumpulkan bukan merujuk pada keterhimpunan atau keberkumpulan bendawi yang umum. Tetapi merujuk pada proses kognisi manusia, karena itu lebih bermanfaat dan penting untuk diketahui manusia. Kata qiraah merujuk kepada objek yang beragam baik berupa bacaan yang benar atau suci yaitu Alquran, bisa juga tidak demikian di tempat lain menyebut catatan amal. Atau bahkan di tempat lain tidak disebutkan objeknya sama sekali. Karena, yang menjadi penekanan adalah proses kognisinya yaitu memahami, menela’ah, melafalkan, mempelajari, menganalisa dan seterusnya tidak peduli baik objeknya hadir atau tidak, suci atau profan. Sedangkan kata tilawah titik tekannya, Alquran memberikan alternatif juga anjuran bagi manusia mengenai jawaban dari pertanyaan apa yang seharusnya diikuti dan layak diikuti untuk dijadikan sebagai pedoman, pandangan dan prinsip hidup. Yaitu ayat-ayat-Nya yang berwujud verbal maupun non-verbal yang tidak diragukan lagi keagungan, kesucian dan relevansinya dengan realitas. Sehingga, objek dari kata tilawah pasti merupakan hal yang benar dan suci. Berbeda dengan qiraah, tilawah mengharuskan adanya kehadiran objek sebagai rujukan. Karena terdapat kepentingan untuk menjadikannya sumber pedoman hidup. Telah disinggung bahwa titik tekan Syahrur dalam memahami Alquran ada pada upayanya dalam melakukan kontekstualisasi teks. Dari uraian di atas, pemaparan mengenai kedua kata tersebut masih terlihat abstrak dan sedikit sulit untuk dicerna secara mudah, karena bentuknya berupa konsep. Apabila perlu mengambil suatu bentuk contoh konkret sehingga mudah dipahami, maka qiraah dalam konteks sekarang adalah tindakan menelaah, memahami, menyimak, mengkaji atau melakukan penelitian terhadap suatu hal dan yang sejenisnya. Sedangkan tilawah adalah pengajaran di kelas pada umumnya, pengajian kitab di pesantren, pidato, seminar ilmiah dan yang sejenisnya. Dalam kasus seminar ilmiah misalnya subjek tilawah adalah orang punya kapabilitas tertentu sehingga diberi kesempatan berbicara dan didengarkan, karena telah melakukan kajian ilmiah yang menghasilkan kebenaran empiris, Juga membawa serta hasil penelitiannya tersebut berupa makalah sebagai objek, yaitu rujukan yang akan diseminarkannya. Di dalam seminar ilmiah, semua proses tilawah terjadi. Kedua bentuk tersebut tentu saja hanya merupakan contoh konkret yang akan berubah seiring berubahnya zaman dan waktu. Sebagaimana Syahrur yang memahami yu’minu>na bil ghaibi, tidak hanya sebagai syarat keberimanan secara transenden berupa diakuinya keberadaan alam lain setelah mati. Tapi beliau lebih luas memahaminya menjadi segala perkara yang tidak terlihat dan tidak diketahui disadari, yang terbagi menjadi dua tipe yang berbeda, yaitu hukum alam yang tidak terlihat ghaibiyya>t al-tha>bi’ah seperti akan dialaminya kematian oleh setiap makhluk yang bernyawa, dan sejarah yang tidak terlihat ghaibiyya>t al-ta>rikh. Yang perlu digarisbawahi dari perspektif Syahrur adalah upaya kontekstualisasinya. Karena yang beliau khawatirkan, apabila pemaknaan terhadap Alquran tidak dibawa ke dalam konteks sekarang, akibatnya Alquran akan tidak relevan dengan pengalaman kehidupan riil manusia sehingga yang terjadi adalah Alquran menjadi terasing dari kehidupan manusia itu sendiri. Tentu itu merupakan hal yang buruk, karena pada akhirnya teks Alquran akan ditinggalkan akibat ketidakrelevanannya. Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 52 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur 4. Simpulan Setelah dilakukan kajian, pemaparan dan penelitian yang penulis lakukan, maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu terkait latar belakang pemikiran anti sinonimitas Muhammad Syahrur dan makna qiraah dan tilawah dalam Alquran perspektif anti sinonimitas Syahrur. Berawal dari asumsi Syahrur mengenai Alquran yang mengandung sisi kemukjizatan ilmiah, sedangkan untuk memahaminya diperlukan metode historis-ilmiah al-manha>j al-ta>rikhi al-ilmi yang mana menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim. Adapun metode ini diperkenalkan oleh Ja’far Dek al-Bab lewat penelitiannya, yaitu al-Khas}a>is al-Binwiyah li al-Arabiyah fi D{au’i al-Dira>sa>t al-Lisa>niyah al-H{adi>s}ah yang mana beliau ciptakan asasnya berdasarkan perspektif Abu Ali al-Farisi yang berasal dari dua teori yang saling melengkapi, yaitu teorinya Ibnu Jinni dan al-Jurjani. Yang selanjutnya ini mengerucut di dalam teorinya Abu Ali al-Farisi, yaitu berasumsi bahwa; Pertama, bahasa adalah sebuah sistem. Kedua, Bahasa adalah hasil kesepakatan dan hubungan struktur & fungsi bahasa yang berkaitan dengan praktik bahasa. Ketiga, Keterkaitan bahasa dengan pikiran. Adapun mengenai pemaknaan kata qiraah dan tilawah, kata qiraah titik tekannya, Alquran memberitahukan, tindakan menghimpun atau mengumpulkan bukan merujuk pada keterhimpunan atau keberkumpulan bendawi yang umum. Tetapi merujuk pada proses kognisi manusia, karena itu lebih bermanfaat dan penting untuk diketahui manusia. Kata qiraah merujuk kepada objek yang beragam baik berupa bacaan yang benar atau suci yaitu Alquran, bisa juga tidak demikian di tempat lain menyebut catatan amal. Atau bahkan di tempat lain tidak disebutkan objeknya sama sekali. Karena yang menjadi penekanan adalah proses kognisinya yaitu memahami, menela’ah, melafalkan, mempelajari, menganalisa dan seterusnya tidak peduli baik objeknya hadir atau tidak, suci atau profan. Sedangkan kata tilawah titik tekannya, Alquran memberikan alternatif juga anjuran bagi manusia mengenai jawaban dari pertanyaan apa yang seharusnya diikuti dan layak diikuti untuk dijadikan sebagai pedoman, pandangan dan prinsip hidup. Yaitu ayat-ayat-Nya yang berwujud verbal maupun non-verbal yang tidak diragukan lagi keagungan, kesucian dan relevansinya dengan realitas. Sehingga objek dari kata tilawah pasti merupakan hal yang benar dan suci. Berbeda dengan qiraah, tilawah mengharuskan adanya kehadiran objek sebagai rujukan. Karena terdapat kepentingan untuk menjadikannya sumber pedoman hidup. Telah disinggung bahwa titik tekan Syahrur dalam memahami Alquran ada pada upayanya dalam melakukan kontekstualisasi teks. Dari uraian di atas, pemaparan mengenai kedua kata tersebut masih terlihat abstrak dan sedikit sulit untuk dicerna secara mudah, karena bentuknya berupa konsep. Apabila perlu mengambil suatu bentuk contoh konkret sehingga mudah dipahami, maka qiraah dalam konteks sekarang adalah tindakan menelaah, memahami, menyimak, mengkaji atau melakukan penelitian terhadap suatu hal dan yang sejenisnya. Sedangkan tilawah adalah pengajaran di kelas pada umumnya, pengajian kitab di pesantren, pidato, seminar ilmiah dan yang sejenisnya. Dalam kasus seminar ilmiah misalnya subjek tilawah adalah orang punya kapabilitas tertentu sehingga diberi kesempatan berbicara dan didengarkan, karena telah melakukan kajian ilmiah yang menghasilkan kebenaran empiris Juga membawa serta hasil penelitiannya tersebut berupa makalah sebagai objek, yaitu rujukan yang akan diseminarkannya. Di dalam seminar ilmiah, semua proses tilawah terjadi. Kedua bentuk tersebut tentu saja hanya merupakan contoh konkret yang akan berubah seiring berubahnya zaman dan waktu. Sebagaimana Syahrur yang memahami yu’minu>na bil ghaibi, tidak hanya sebagai syarat keberimanan secara transenden berupa diakuinya keberadaan alam lain setelah mati. Tapi beliau lebih luas memahaminya menjadi segala perkara yang tidak terlihat dan tidak diketahui disadari, yang terbagi menjadi dua tipe yang berbeda, yaitu hukum alam yang tidak terlihat ghaibiyya>t al-tha>bi’ah seperti akan dialaminya kematian oleh setiap makhluk yang bernyawa, dan sejarah yang tidak terlihat ghaibiyya>t al-ta>rikh seperti . Yang perlu digarisbawahi dari perspektif Syahrur adalah upaya kontekstualisasinya. Karena yang beliau khawatirkan, apabila pemaknaan terhadap Alquran tidak dibawa ke dalam konteks sekarang, Al-Bayan Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1Juni 2020 42-53 53 dari 53 Sandi Wahid Rahmat Nugraha dan Irwan Abdurrohman/ Makna Qirā’ah Dan Tilāwah Dalam Alquran Perspektif Teori Anti Sinonimitas Muhammad Syahrur akibatnya Alquran akan tidak relevan dengan pengalaman kehidupan riil manusia sehingga yang terjadi adalah Alquran menjadi terasing dari kehidupan manusia itu sendiri. Tentu itu merupakan hal yang buruk, karena pada akhirnya teks Alquran akan ditinggalkan akibat ketidakrelevanannya. Referensi Al-Sabt, Khalid bin Usman. 1421. Qawa>’id Al-Tafsi>r Jam’an Wa Dira>satan. Madinah Dar al-Affan. ———. Qawa>’id Al-Tafsi>r Jam’an Wa Dira>satan. Madinah Dar al-Affan. Arifin, E. Zaenal. 2015. ‚Kesinoniman Dalam Bahasa Indonesia’,.‛ Pujangga Jurnal Bahasa dan Sastra 11 7. Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfa>z\ Al-Qur’a>n Al-Kari>m. Indonesia Maktabah Dahlan. Dindin Moh Saepudin, dan Izzah Rusydati Khairani. ‚Iman Dan Amal Saleh Dalam Alquran Studi Kajian Semantik.‛ Al-Bayan Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 21. Harb, Ali. 2003. Kritik Nalar Al-Quran, Trans. M. Faisol Fatawi. Yogyakarta LKiS. Hidayat, Arifin. 2017. ‚Metode Penafsiran Alquran Menggunakan Pendekatan Linguistik Telaah Pemikiran M. Syahrur’,.‛ Jurnal Madaniyah 72 207. Hikmat Ullah Khan, Syed Muhammad Saqlain, Muhammad Shoaib, and Muhammad Sher. 2019. ‚Ontology Based Semantic Search in Holy Quran Hikmat Ullah Khan, Syed Muhammad Saqlain, Muhammad Shoaib, and Muhammad Sher.‛ International Journal of Future Computer and Communication 26. Ismail, Ecep. 2016a. ‚Analisis Semantik Pada Kata Ah}za>bdan Derivasinya Dalam Alquran’,.‛ Al-Bayan Jurnal Studi Alquran dan Tafsir 12 142. ———. 2016b. ‚Analisis Semantik Pada Kata Ahzāb Dan Derivasinya Dalam Al-Quran.‛ Al-Bayan Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 12. Izutsu, Toshihiko. 2003. Relasi Tuhan Dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Alquran, Trans. Aguslim Fahri Husein Dkk. Yogyakarta Tiara Wacana. Malik, Abdul. 2017. ‚‚Tafsir Alqur’an Paradigma Integratif Studi Atas Qiraah Althaniyah Muhammad Syahrur‛,.‛ Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat Al-A’raf XIV1 120. Mubarok, Ahmad Zaki. 2007. Pendekatan Strukturalisme Linguistik Dalam Tafsir Alqur’an Kontemporer Ala Syahrur. Yogyakarta eLSAQ Press. Riyanto, Waryani Fajar. 2014. ‚Antisinonimitas Tafsir Sufi Kontemporer.‛ Episteme 91. Rofiq Nurhadi. 2017. ‚Pro Kontra Sinonimi Dalam Al-Qur’an.‛ Jurnal Al Bayan 92. Shihab, M. Quraish. 2015a. Kaidah Tafsir. Tangerang Lentera Hati. ———. 2015b. Kaidah Tafsir. Tangerang Lentera Hati. Syahrur. Al-Kita>b Wa Al-Qur’a>n Qira>ah Mu’a>s}irah. ———. Al-Kita>b Wa Al-Qur’a>n Qiraah Mu’a>sirah,. ———. Al-Kita>b Wa Al-Qur’a>n Qiraah Mu’a>sirah. Syahrur, Muhammad. 1994. Dira>sa>t Al-Isla>miya>t Al-Mua>s}irah Fi Al-Daulah Wa Al-Mujtama. Damaskus al-Ahali li al-Tiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’. ———. 2015. Al-Kita>b Wa Al-Qur’a>n Qira>ah Mu’a>s}irah,Trans. M. Firdaus. Bandung Marja. ———. 2018. ‚The Book and The Quran – Shahrour 1997. Relasi Tuhan Dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an. Yogyakarta Tiara Wacana Yogya. Yunus, Mahmud. 1972. Arab Indonesia. Jakarta Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah. Yusuf, Muhammad. 2014. ‚Bacaan Kontemporer Hermeneutika Alquran Muhammad Syahrur’,.‛ Jurnal Diskursus Islam 21 55. Zenrif, M. F. 2008. Sintesis Paradigma Studi Alquran. Malang UIN Malang Press. Zulfikar, Eko. 2018. ‚Makna U Al-Alba>b Dalam Al-Qur’an Analisis Semantik Toshihiko Izutsu.‛ Jurnal Theologia 291. © 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Attribution International CC BY license Thoriq Aziz JayanaThe Qur'an has brought the spirit of literacy since the beginning of Islam, from that spirit then made Muslims recorded in world history as people who have created a superior civilization that became the mecca of science. This paper seeks to describe more complexly the spirit of literacy in the Qur'an from various aspects ranging from theological, historical, and sociological reviews. The research method used is literature with content analysis through interpretation of meaning. This article is a discourse study to dig deeper into the literacy spirit that needs to be applied in Islamic society. As a result, there are many verses in the Qur'an that command literacy by mentioning literacy tools and inviting mankind to think deeply, seek knowledge, and make bookkeeping a tradition. The scope of literacy is very broad, starting from reading, observing, researching, understanding, analyzing, criticizing, and so Zulfikarp> Abstract One of the words of the Qur’an which shows the meaning of the one who possesses knowledge is ūlū al-a lbāb. Ū lū al-a lbāb is the 16 terms mentioned in 10 letters in the Qur ’an. Every verse contained in various letters certainly has a different meaning, so it requires a deep understanding. Disclosure of the meaning ūlū al-a lbāb will be analyzed by the author by using semantic al-Qur'an developed by Toshihiko Izutsu. The semantic of the Qur’an according to Izutsu is an attempt to expose the worldview of the Qur ’an weltanschauung through semantic analysis of the vocabulary or key terms of the Qur ’an. The process undertaken in this study is to examine the basic meaning and relational meaning of ūlū al-a lbāb by using syntagmatic and paradigmatic analysis, then to examine the use of vocabulary ūlū al-a lbāb in pre-Qur ’anic, Qur ’anic and post-Qur’anic. Abstrak Salah satu kata al-Qur’an yang menunjukkan makna orang yang memiliki akal pengetahuan adalah ūlū al-albāb. Ūlū al-albāb merupakan istilah yang disebutkan sebanyak 16 kali yang terliput dalam 10 surah di dalam al-Qur’an. Di setiap ayat yang terdapat di berbagai surah tentunya memiliki makna yang berbeda, sehingga membutuhkan pemahaman yang mendalam. Peng­ungkapan makna ūlū al-albāb tersebut akan penulis analisa dengan meng­gunakan semantik al-Qur’an yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu. Semantik al-Qur’an menurut Izutsu merupakan sebuah usaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’an weltanschauung melalui analisis semantik terhadap kosakata atau istilah-istilah kunci al-Qur’an. Proses yang dilakukan dalam penelitian ini adalah meneliti makna dasar dan makna relasional kata ūlū al-albāb dengan menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik, kemudian meneliti penggunaan kosakata ūlū al-albāb pada masa pra-Qur’anik, Qur’anik dan pasca-Qur’anik. Reviews of synonymy in Indonesian is aimed to describe the various issues related to equality of words in our national language. The method used is qualitative descriptive method. The theoretical framework of this review is based on the opinion of Cruse in Lexical Semantics, and other Semantics expert opinion. Retrieved complex description of synonymy in this language, absolute synonym, cognitive synonym, plesionym, partial synonym, and congruous synonym. Synonyms are used so there are variations that sentence constructed by the words will be able to make it live and concrete the use of one’s language so that the communication between speachers will be more attractive.
MateriHiwar Bahasa Arab Kelas 12 Tentang Syi'rul Arobiyu الشِّعْرُ اْلعَرَبِيُّ #BahasaArab #MAN1Lubuklinggau #FikriAlmabrur Bahasa Arab, Materi Bahasa Arab

Pengertian Qiroah dalam Pembelajaran Bahasa Arab Secara bahasa kata Qiro’ah sendiri berasal dari kata qoro’a-yaqro’u, qiro’atan yang artinya membaca, bacaan. Secara bahasa kata ini berasal dari ayat pertama dari wahyu Al-Qur’an, yakni “iqro”. Kata “iqro” dalam ayat tersebut adalah “fiil amr” mengandung arti perintah untuk membaca. Perintah iqro’ ini dilanjutkan dengan kalimat berikutnya yakni bismirobbikalladzi kholaq, kholaqol insani min alaq. Yakni membaca dengan dasar atau kerangka “ismi rabb” Allah sebagai Rabb. Makna iqro’/qiro’ah dalam ayat tersebut bukan sebatas harfiah yakni membaca suatu tulisan saja, tetapi suatu perintah untuk membaca, meneliti, dan memahami. Sedangkan obyek yang harus dibaca adalah tentang manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai kholiq rabb. Jadi, perintah qiro’ah menurut ayat tersebut mengandung makna proses membaca, meneliti mengkaji dan memahami mengenal segalas sesuatu tanpa batas. Pembelajaran Qiroah Dalam pembelajaran Qiroah peserta didik ditekankan untuk lebih memahami akan teks berbahasa arab, karena metode ini dituntut untuk peserta didik membaca teks bahasa arab sesuai lafadz, makhroj, dan tutur bahasa bahasanya. Dengan itu pendidik dalam menyampaikan pembelajaran Qiroah harus lebih kreatif dan inovatif karena ketika peserta didi membaca teks bahasa Arab bukan hanya mampu membaca saja akan tetapi mampu memahami dalam teks tersebut. Dalam pembejaran Qiroah juga berbagai macam cara pendidik untuk menerapkan metode ini dengan baik serta menarik, dimana pendidik memberikan gambar di dalam teks berbahasa Arab tersebut ataupu kosa kata yang sulit untuk di artikan di dalam teks tersebut, Dengan itu peserta didik lebih memahami isi teks berbahasa Arab Penerapan Metode Qiroah dalam Pembelajaran Bahasa Arab Dimana tujuan terakhir dalam pembelajaran Qiroah ini bukan hanya memahami teks berbahasa Arab saja akan tetapi seorang siswa mampu terbiasa mendapatkan informasi bukan hanya dari teks Indonesia saja akan tetapi siswa juga dapat memperoleh informasi dari teks berbasa arab, jika sudah terbiasa memahami seperti ini ketika seorang siswa berbicara dengan penutur asli seorang tersebut tidak kaku dan pasif ia akan mudah memahami setiap apa yang di sampaikan oleh penutur asli tersebut.

Berikutlangkah-langkahnya : 1) Siapkan kartu berpasangan (soal dan jawabannya) lalu diacak. 2) Bagikan kartu tersebut kepada semua siswa dan mintalah mereka memahami artinya. 3) Mintalah semua siswa mencari pasangannya, mintalah siswa berkelompok dengan pasangannya masing-masing.
Ilustrasi pengertian dan macam-macam qiroah dalam membaca Al-Quran, sumber foto Faseeh Fawaz on UnsplashMembaca Al-Quran merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan seorang Muslim agar mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Karena Al-Quran menggunakan bahasa Arab, untuk membacanya dengan benar umat muslim harus mempelajari bahasa Arab dengan baik dan benar. Membaca Al-Quran memiliki ilmunya sendiri, mulai dari bagaimana pengucapan setiap huruf hingga cara menafsirkan sebuah ayat. Ilmu yang mempelajari cara membaca Al-Quran yang baik disebut dengan qiroah, berikut adalah pengertian dan macam-macam qiroah dalam membaca QiroahIlustrasi pengertian dan macam-macam qiroah dalam membaca Al-Quran, sumber foto T Foz on UnsplashKita mulai pembahasan dari pengertian qiroah secara etimologis dikutip dari buku Al-Quran dan Qiraah Syadzah karya Aqil Haidar halaman 16, kata qiraah merupakan bentuk jamak dari qiraah dan juga bentuk masdar dari qaraa yaqrau qiratan yang artinya adalah menghubungkan antara huruf dan kalimat satu sama lainnya dalam bacaanSementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia qiraah pengertiannya adalah hal-hal yang berhubungan dengan cara pembacaan Al-Quran dan cara pembacaan ayat-ayat itu qiraah menurut ulama Ash-Shabuni didefinisikan sebagai cara membaca Al-Quran dari seorang Imam ahli qiraaah yang berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya berdasarkan sanad yang menyambung sampai kepada Rasulullah beberapa pengertian diatas dapat ditarik benang merah bahwa qiraah sebenarnya bukan hanya sekedar membaca Al-Quran, tapi cara membaca Al-Quran dengan madzhab yang dipilih oleh ahli qiraah dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah QiraahDalam membaca Al-Quran sendiri ada beberapa macam-macam qiraah diantarnaya adalah Qiraah Sabah dan Qiraah Asyrah. Untuk qiraah Sabah sendiri adalah cara membaca Al-Quran dari tujuh umam ahli qiraah yaitu Nafi ibn Abd Rahman ibn Abu Nuaim, Abu Mabad yang lebih di kenal dengan Ibn Katsir, Abu Amr Zabban ibn al-Ala’ ibn Ammar, Abu Imran Abdullah ibn Amir, Abu Bakr Ashim ibn Abu Najud al-Asadi al-Kuf, Abu Imarah Hamzah ibn Habib ibn Imarah, dan yang ketujuh Al-Kisa’ itu qiraah Asyarah adalah cara membaca Al-Quran dari tujuh imam yang telah disebutkan di atas ditambah dengan beberapa imam lainnya seperti Abu Jafar Yazid ibn al-Qaqa. Abu Muhammad Yaqub ibn Ishaq ibn zaid ibn Abdullah ibn Ishaq al- Hadrami, dan Abu Muhammad Khallaf ibn Hisyam adalah pembahasan terkait dengan pengertian qiraah dan macam-macamnya dalam membaca Al-Quran. Semoga dapat menjadi pembelajaran bagi kita semuaWWN
5 Cinta dan peduli terhadap pengembangan bahasa Arab dan penerjemahannya. 6. Mencintai profesi dan mengembangkannya. 7. Terampil dalam berbahasa Arab dan mengajar bahasa Arab. 8. Terampil mengajarkan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya. 9. Terampil dan aktif dalam berbahasa Arab dalam berbagai situasi.
Pengertian Qira'ah, Qira'ah Menurut Para Ahli & Konsep Qira'ah Dalam Al-Qur'an Al-Quran merupakan pedoman hidup umat Islam. al-Quran dijadikan sebagai sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membumikan norma dan nilainilai yang terkandung dalam al-Quran atau mengintegrasikannya ke dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam selalu muncul ke permukaan, termasuk mengintegrasikannya ke dalam ilmu manajemen dan pendidikan. Menurut M. Ghalib, al-Quran merupakan hadiah sekaligus hidayah bagi umat Islam. Bahkan menurutnya, Al-Quran bisa menjadi sumber kajian ilmu pengetahuan, bukan hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi siapa saja termasuk non muslim yang memang secara serius dan bersungguh-sungguh mengkaji atau mendalaminya.[1] Setiap kajian yang dilakukan terhadap Al-Quran, akan selalu menghasilkan temuan-temuan baru sesuai dengan perspektif yang digunakannya. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.[2] Sebagai sebuah pedoman hidup umat Islam dalam menghadapi kehidupan ini, maka Al-Quran diyakini mengandung petunjuk bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia serta arahan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Al-Quran, tidak hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalat, jinayat tapi juga berbicara pesoalan sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, alam raya serta perosalan-persoalan ilmu pengetahuan lainnya. Al-Quran Surat Al-An’am ayat 38 menegaskan bahwa Terjemah Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al QS. 6 [Al-An’am] 38 Terjemah Kami turunkan kepadamu Al-Kitab Al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu … QS. 16 [Al-Nahl] 89 Kedua Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Quran tidak meninggalkan sedikitpun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu. Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab,[3] menerangkan bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Artinya, Al-Quran merupakan sumber ilmu pengetahuan yang telah ada, dan darinya pula dapat digali dan dikembangkan ilmu-ilmu pengetahaun baru yang belum diketahui oleh manusia sebelumnya. Terjemah Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus …QS. 17 [Al-Isra] 9 Kesan pesan dan petunjuk Al-Quran akan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Namun demikian, Al-Quran bukan merupakan kitab ilmiah, sebab kitab ilmiah, disamping menggunakan metode ilmiah juga kebenaran yang dikandungnya adalah tentative, sementara Al-Quran adalah kitab wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Absolut, maka kebenaran yang dikandungnya adalah kebenaran absolut. Adapun pembicaraan mengenai hubungan antara. Al-Quran dan ilmu pengetahuan harus dipahami dengan pengertian bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk yang jiwa ayat-ayatnya tidak menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan begitu banyak ayat Al-Quran yang menyuruh umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Begitu juga, tidak ada satu ayat Al-Quranpun yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah.[4] Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara “sporadic” terbesar disepanjang “Jazirah arab”. Setiap suku mempunyai format dialek yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio cultural dari masing-masing suku lainnya. Disisi lain, perbedaan itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan dalam melafalkan Al-Quran. Lahirnya bermacam-macam bacaan itu sendiri, dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami, artinya tidak dapat dihindari lagi. A. Pengertian Qira’ah Secara etimologi, kata qira’ah seakar dengan kata al-Quran, yaitu akar kata dari kata qara’a yang berarti tala membaca. Qira’ah merupakan bentuk masdar verbal noun dari kata qara’a, yaitu artinya bacaan.[5] Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’ah ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’ahli atau imam qira’ah yang mengajarkan bacaan al-Quran kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Maka ada beberapa definisi yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut 1. Menurut Az-Zarkasyi إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها. Artinya “Qira’ah adalah perbedaan perbedaan cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif meringankan tastqil memberatkan,dan atau yang lainnya.[6] 2. Menurut As-Shabuni مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم. Artinya “Qira’ah adalah suatu madzhab pelafalan Al-Quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul. 3. Menurut Al-Qasthalani “Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan. Dari definisi di atas, tampak bahwa Qira’ah al-Quran itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah Qira’ah yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu Qira’ah yang diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa Qira’ah itu dibacakan Nabi Saw. Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi Qira’ah dengan madzhab atau imam Qira’ah tertentu, selaku pakar Qira’ah yang bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya. Sehubungan dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’ah al-Quran kepada salah seorang imam Qira’ah dan kepada orang-orang sesudahnya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut. 1. القرأت Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang imam tertentu seperti, Qira’ah Nafi. 2. الرواية Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang perawi Qira’ah dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’. 3. الطريقSuatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang perawi Qira’ah dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun. 4. الوجه Suatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-Quran berdasarkan pilihannya terhadap versi Qira’ah tertentu. Informasi tentang Qira’ah diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran sima’ dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenal bacaan ayat-ayat al-Quran, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya. B. Konsep Qira’ah dalam al-Quran “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta.” ayat 1. Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu yang diturunkan kepada beliau itu atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta. Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah.” ayat 2. Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging Mudhghah.[7] Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Quran. Dan Al-Quran itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.” Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Ammanya menerangkan “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.” “Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” ayat 3. Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya. “Dia yang mengajarkan dengan qalam.” ayat 4. Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu.” ayat 5. Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya “Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.”[8] Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani. Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis. Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.” Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya. Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan. Dalam Shahih-nya Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. yang artinya demikian, “Wahyu pertama yang sampai kepada Rasul adalah mimpi yang benar. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali hal itu datang seperti cahaya Shubuh. Setelah itu beliau senang berkhalwat. Beliau datang ke gua Hira dan menyendiri di sana, beribadah selama beberapa malam. Yang untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian kembali ke Khadijah dan membawa bekal serupa. Sampai akhirnya dikejutkan oleh datangnya wahyu, saat beliau berada di gua Hira. Malaikat datang kepadanya dan berkata, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” lalu Rasulullah saw. berkata, “Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata, Bacalah!’ Aku katakan, Aku tidak bisa membaca.’ Lalu di merangkulku sampai terasa sesak dan melepaskanku. Ia berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Al-Hadits. Dengan demikian maka awal surat ini menjadi ayat pertama yang turun dalam Al-Quran sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia. Wahyu pertama yang sampai kepada Nabi saw. adalah perintah membaca dan pembicaraan tentang pena dan ilmu. Tidakkah kaum Muslimin menjadikan ini sebagai pelajaran lalu menyebarkan ilmu dan mengibarkan panjinya. Sedangkan Nabi yang ummi ini saja perintah pertama yang harus dikerjakan adalah membaca dan menyebarkan ilmu. Sementara ayat berikutnya turun setelah itu. Surat pertama yang turun secara lengkap adalah Al-Fatihah. Pengertian ringkas ayat-ayat ini adalah Agar kamu menjadi orang yang bisa membaca, ya Muhammad. Setelah tadinya kamu tidak seperti itu. Kemudian bacalah apa yang diwahyukan kepadamu. Jangan mengira bahwa hal itu tidak mungkin hanya dikarenakan kamu orang ummi, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Allah-lah yang menciptakan alam ini, yang menyempurnakan, menentukan kadarnya, dan memberi petunjuk. Yang menciptakan manusia sebagai makhluk paling mulia dan menguasainya serta membedakannya dari yang lain dengan akal, taklif, dan pandangan jauhnya. Allah swt. menciptakannya dari darah beku yang tidak ada rasa dan gerak. Setelah itu ia mnejadi manusia sempurna dengan bentuk yang paling indah. Allah-lah yang menjadikanmu mampu membaca dan memberi ilmu kepadamu ilmu tentang apa yang tadinya tidak kamu ketahui. Kamu dan kaummu tadinya tidak mengetahui apa-apa. Allah juga yang mampu menurunkan Al-Quran kepadamu untuk dibacakan kepada manusia dengan pelahan. Yang tadinya kamu tidak tahu, apa kitab itu dan apa keimanan itu? Bacalah dengan nama Tuhanmu, maksudnya dengan kekuasaan-Nya. Nama adalah untuk mengenali jenis dan Allah dikenali melalui sifat-sifat-Nya. Yang menciptakan semua makhluk dan menyempurnakan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki-Nya. Dan Allah swt. telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, ya Muhammad. Dan Tuhanmu lebih mulia dari setiap yang mulia. Karena Allah swt. yang memberikan kemuliaan dan kedermawanan. Maha Kuasa daripada semua yang ada. Perintah membaca disampaikan berulang-ulang karena orang biasa perlu pengulangan termasuk juga Al-Mushtafa Rasulullah saw. Karena Allah sebagai Dzat yang paling mulia dari semua yang mulia, apa susahnya memberikan kenikmatan membaca dan menghapal Al-Quran kepadamu tanpa sebab-sebab normal. Silakan baca firman Allah, “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya.” Al-Qiyamah 17. “Kami akan membacakan Al Quran kepadamu Muhammad Maka kamu tidak akan lupa.” Al-A’la 6. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia dan mengajarkan manusia untuk saling memahami dengan pena, meski jarak dan masa mereka sangat jauh. Ini merupakan penjelasan tentang salah satu indikasi kekusaan dan ilmu manusia. “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Allah memberikan insting dan kemampuan berpikir kepada manusia yang menjadikannya mampu mengkaji dan mencerna serta mencoba sampai ia mampu menyibak rahasia alam. Dengan demikian ia dapat menguasai alam dan menundukkannya sesuai dengan yang diinginkannya. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” Al-Baqarah 29. “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda seluruhnya” Al-Baqarah 31. Nampaknya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk membaca secara umum dan khususnya membaca Al-Quran. Setelah itu Allah menjelaskan bahwa hal itu sangat mungkin bagi Allah yang menciptakan semua makhluk dan menciptakan manusia dari segumpal darah. Dia-lah yang Maha Mulia dan tidak pelit terutama terhadap Rasul-Nya. Dialah yang mengajarkan manusia dengan pena tentang apa yang belum pernah diketahuinya. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya Hanya kepada Tuhanmulah kembalimu.” Sungguh benar, bahwa manusia itu melampaui batas, sombong, dan keterlaluan melakukan dosa. Karena ia menganggap dirinya tidak butuh kepada orang lain akibatnya melimpahnya harta, anak-anak, dan lain-lain. Sesungguhnya pada hari Kiamat nanti ia akan kembali kepada Allah swt. dan akan diminta pertanggung-jawaban atas semua yang dilakukan. Mungkin anda bertanya tentang konsiderasi ayat-ayat ini. Saya katakan bahwa ketika Allah swt. menyebutkan indikasi kekuasaan dan ilmu serta kesempurnaan nikmat yang dianugerahkan kepada manusia. Tujuannya adalah agar manusia tidak ingkar nikmat. Namun apa lacur, ternyata manusia benar-benar mengingkari dan melampaui batas. Oleh karena itu Allah swt. ingin menjelaskan sebabnya, bahwa cinta dunia, tertipu olehnya, dan berambisi terhadapnya dapat menyibukkannya dari melihat ayat-ayat Allah yang agung.[9] Setelah memerintahkan Nabi-Nya untuk membaca wahyu yang ada di dalam kitab-Nya dan menjelaskan penyebab kekafiran manusia, Allah membuat perumpamaan gembong kekafiran, yakni Abu Jahal. Kendatipun pengertian ayat tersebut umum. Ceritakan kepada-Ku, ya Muhammad, tentang seseorang yang melarang hamba untuk tunduk kepada Allah dan melakukan shalat. Apa urusanya? Orang itu sungguh mengherankan, ia kafir dan bermaksiat kepada Tuhannya. Ia melarang orang lain melakukan kebaikan terutama shalat. Ceritakan kepada-Ku tentang kondisi orang tersebut, kalau memang ia termasuk golongan kanan dan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk setelah itu ia mengajak orang lain kepada ketakwaan dan kebaikan. Kalau orang itu seperti ini keadaannya tentu ia berhak mendapatkan pahala yang besar dan surga sebagai tempat tinggalnya. Ceritakan kepada-Ku tentang orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran lalu mengerahkan segenap potensinya untuk mengejar apa yang diinginkan. Tidakkah mereka tahu bahwa Allah swt. melihat? Sebenarnya mereka mengakui bahwa Allah swt. mengetahui yang gaib dan yang nyata lalu akan membalas masing-masing orang sesuai dengan amal perbuatannya. Kalau amalnya baik balasannya baik dan kalau amalnya buruk dibalas dengan keburukan. Maka bergegaslah kalian, wahai manusia, menuju Allah, bertaubatlah dan beramallah untuk mendapatkan ridha-Nya. Kalla, kata penolakan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah. Aku bersumpah, jika orang-orang kafir dan pelaku kemaksiatan itu tidak menyudahi perbuatan mereka, Kami akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih. Kami akan hinakan mereka serendah-rendahnya sesuai dengan tingkat kesombongan mereka di dunia. Dan bagi Allah hal itu tidaklah sulit. Akan Kami tarik ubun-ubun mereka dengan kasar. Ubun-ubun yang sering menyombongkan dirinya karena kekuatan dan keyakinanya bahwa dirinya akan selamat dari murka Allah. Padahal tidak ada yang bisa mengalahkan Allah, baik yang ada di bumi maupun di langit. Tentu saja dugaan tersebut salah karena mereka melampaui batas dan berlaku jahat, khususnya terhadap orang-orang baik dan jujur. Kami akan hinakan orang seperti ini, maka biarkan saja malaikat yang memanggil mendorong mereka semua. Bahkan Kami, Allah swt. akan memanggil Zabaniyah. Yakni Allah swt. akan memanggil Zabaniyah, penjaga Jahannam untuk mendorong mereka. “Pada hari mereka didorong ke neraka Jahannam dengan sekuat- kuatnya.” Pada saat itu mereka tidak memiliki penolong maupun pembantu. Kalla, tinggalkan orang kafir itu dengan perbuatannya dan jangan sampai mengganggunya, ya Rasulullah. Bersujudlah selalu untuk Allah serta mendekatlah kepada-Nya melalui ibadah, karena ibadah merupakan benteng yang kokoh dan jalan keselamatan. KESIMPULAN 1. Membaca merupakan hal yang sangat penting dan perlu dilestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-Quran. 2. Membaca merupakan proses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi atas keterpurukan yang di sandang saat ini. Setelah membahas Konsep Qira’ah dalam al-Quran. Maka kami berharap Qira’ah dalam hal ini membaca lebih di perhatikan lagi, terutama membaca al-Quran sebab al-Quran bisa memberi syafaat bagi orang yang sering membacanya ketika hidup di dunia dan dari hasil bacaan itu diharapkan bisa dilaksanakan didalam kehidupan sehari- hari. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemah M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, Bandung Mizan, 1996, cet. Ke IV. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. Manna al-Qaththan,Mabahis fi Ulum al-Quran, 1973, Cet. 3 Badaruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkazi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1 [1] . M. Ghalib, dalam acara Kuliah yang dilaksanakan di Pascasarjana UMI, hari Sabtu tanggal 09 Mei 2015 [2] . M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, Bandung Mizan, 1996, cet. Ke IV., h. 3 [3]. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, Bandung Mizan, 1996, cet. keIV., h. 3 [4]. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an;…, [5]. Manna al-Qaththan,Mabahis fi Ulum al-Quran, 1973, Cet. 3, h. 170 [6]. Badaruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkazi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1, h. 395 [7]. [8]. [9].
Iniberarti ada hubungan baik antara semua anggota masyarakat, muda dan tua, pria dan wanita, sampai bangsa mencapai apa yang Anda inginkan. Berbagi : Posting Komentar untuk "Teks Qiraah/Bacaan Bahasa Arab Tentang Masa Muda (مَرْحَلَةُ الشَّبابِ)"
Nama Al-Qari'ah diambil dari ayat pertama, artinya menggebrak atau mengguncang, kemudian kata ini dipakai untuk nama hari kiamat Minggu, 31 Mei 2020 0910 WIB - Surah Al-Qari'ah bahasa Arabالقارعة adalah surah ke-101 dalam Alquran. Surah Al-Qari'ah terdiri atas 11 ayat, termasuk golongan surah-surah Makkiyyah karena turun di Mekkah. Surat Al Qoriah sesudah surah Quraisy. Nama Al-Qari'ah diambil dari kata Al-Qari'ah yang terdapat pada ayat pertama, artinya menggebrak atau mengguncang, kemudian kata ini dipakai untuk nama hari kiamat. Pokok isi surah Al-Qari'ah adalah kejadian-kejadian pada hari kiamat, yaitu manusia bertebaran, gunung berhamburan, amal perbuatan manusia ditimbang dan ancaman Neraka Hawiyah. Berikut ini Bacaan Surat Al Qoriah Lengkap Bahasa Arab, Tulisan Latin dan Terjemahannya serta Keutamaan Surah Al-Qari'ah. • Bacaan Surat At Takatsur dalam Bahasa Arab, Tulisan Latin & Arti serta Keutamaan Surah At-Takatsur Ilustrasi Surat Alquran • Bacaan Surat Al Humazah Lengkap Bahasa Arab, Latin dan Artinya serta Keutamaan Surah Al-Humazah Surat Al Qoriah بسم الله الرحمن الرحيم Bismillahirrahmaanirrahiim Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang الْقَارِعَةُ al qoori’ah 1. Hari kiamat مَا الْقَارِعَةُ mal qoori’ah 5Artinya: "sesungguhnya al-Qur'an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan), maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah". (HR. Bukhori dan Muslim)6 Arti Sab'atu Ahruf dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dari kalangan para ulama, hal ini disebabkan karena kata Sab'ah dan kata Ahruf mempunyai banyak arti. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Dalam belajar bahasa arab, terdapat banyak sekali cabang-cabang pembelajaran, seperti maharoh istima, maharoh kitabah, maharoh qiroah dan maharoh kalam. Yang mana cabang-cabang tersebut sangat penting dalam menunjang siswa dalam belajar bahasa arab. Karna berguna untuk fokus secara step by step. Dimulai dari kelancaran membaca bahasa arab, yang tergolong dalam maharoh qiroah, kemudian mendengar yang tergolong dalam maharoh istima', lalu bagaimana menulisnya yang tergolong dalam maharoh kitabah kemudian yang paling penting bisa lancar berbicara yaitu dengan maharoh kalam. Dari 4 aspek penting itu tadi, yang akan kita bahas adalah salah satu yakni maharoh kalam, sebelum kita mendalami apa itu maharoh kalam ? Kita harus tau dulu, sebenarnya maharoh kalam ini artinya apa ? Diartikan secara harfiah atau etimologi, maharoh berarti kemampuan, dan kalam yang berasal dari bahasa arab yang artinya bicara. Dapat disimpulkan bahwa maharoh kalam memiliki arti kemampuan berbicara, ilmu yang fokus mendalami kemampuan bicara bahasa arab siswa. Kenapa siswa harus belajar maharoh kalam ? Ibarat pohon yang bisa berbuah tapi tak dipetik, sudah mengerti kaedah, sudah hafal mufrodat, tapi tidak mengaplikasikan ilmunya dalam berbicara, sama saja bohong. Untuk apa belajar bahasa arab tapi tidak mau mungkin itu alasan yang pas untuk mengharuskan siswa belajar maharoh kalam. Belajar maharoh kalam pun tidak sesulit yang dipikirkan masyarakat atau anak-anak pada umumnya. Banyak sekali instansi-instansi yang fokus terlebih dahulu mendalami maharoh kalam dalam belajar bahasa arab sebelum kaedah dan maharoh yang lain. Awalnya menghafal mufrodat dari kata benda, kemudian kata kerja dan perintah. Setelah itu membuatnya dalam 1 kalimat kemudian mengucapkannya. Sepertu itu metode-metode yang biasa diterapkan instansi termaktub dalam mendalami maharoh kalam. Intinya yang penting ngomong dulu, urusan salah benar nya belakangan, karna bila sudah lancar dalam berbicara maka bisa mendalami fokus ilmu yang lain. Seperti maharoh qiroah, kitabah dan istima'. Lihat Pendidikan Selengkapnya gl50Gc.
  • so1v20s4mv.pages.dev/393
  • so1v20s4mv.pages.dev/47
  • so1v20s4mv.pages.dev/126
  • so1v20s4mv.pages.dev/103
  • so1v20s4mv.pages.dev/211
  • so1v20s4mv.pages.dev/86
  • so1v20s4mv.pages.dev/231
  • so1v20s4mv.pages.dev/117
  • so1v20s4mv.pages.dev/93
  • qiroah bahasa arab dan artinya